Minggu, 17 Juni 2012

SENGKETA SASTRA DAN POLITIK

Nama              : Cepi Zaenal Arifin
NIM                : 2222111101

SENGKETA SASTRA DAN POLITIK
(Membandingkan Esai Wan Anwar, Afisal Malna, dan Goenawan Mohamad)

            Seperti peraturan pemerintah tentang otonomi daerah, yang menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan memberdayakan daerahnya, begitupun dengan Sastra mempunyai otonomi tersendiri yang berdiri tegak dalam wilayah dengan aturan-aturan keindahan yang menggambarkan kehidupan yang ada dalam masyarakat, begitu juga dikubu politik yang mempunyai wilayah yang mengatur keberlangsungan kehidupan bermasyatakat, berbangsa, dan bernegara yang identik dengan “simbol kekuasaan”. Seperti layaknya daerah yang mempunyai perbatasan bedekatan selalu saja ada sengketa yang tak akan surut diterpa perubahan zaman, selalu ada dan tak akan pernah selesai. Sastra yang identik dengan seni dan kebebasan yang indah selalu menggambarkan kehidupan bermasyarakat termasuk kehidupan politik dengan campur tangan kreatif sang pengarang, sedangkan politik dianggap sebagai catur orang-orang yang haus akan kekuasaan yang membelenggu jiwa.
            Sastra tidak hanya berupa karya hasil imajinatif seorang pengarang, namun sastra adalah salah satu cara menikmati peristiwa-peristiwa politik yang begitu mendominasi kehidupan kita, satra selalu hadir dengan muka yang berbeda dengan muka-muka politik, memiliki pilihan yang berbeda, pandangan berbeda, inilah yang membuat persoalan menjadi rumit, masalahnya adalah Politik yang selalu mengekang kretifitas pelaku seni pada masa revolusi maka disini sastra sebagai pemberontak terhadap kekuasaan politik, dari masa ke masa selalu terjadi pemberontakan misalnya, pada tahun 1926 perlawanan Rustam Effendi dengan novel bebasari yang mendapat kecaman dari berbagai pihak yang membaca novel tersebut. Dalam novel tersebut menggambarkan bagaimana seorang pemuda melawan belenggu orang tuanya sendiri untuk melepaskan putri Bebasari yang menyimbolkan ibu pertiwi, pemerintahan kolonial yang pada saat itu masih berada di Nusantara dengan kekuasaan penuh membelenggu setiap kreatifitas yang ada, rakyat Indonesia pada saat tu tak ada yang berani menatap keatas, apa lagi sampai mengkritik pemerintahanya, bahkan pada saat itu buku-buku yang tidak sesuai keinginan politik kolonial tidak akan mendapat izin terbit. dalam esai Afrizal Malna tidak begitu menjelaskan tentang sastra dan politik, namun lebih menonjolkan bagaimana sastra terbelenggu oleh tradisi yang dibuat oleh monopoli kekuasaan kolonial, Afrizal menggambarkan “beberapa penyair yang dalam puisinya pernah memperlibatkan semangat pemberontakan”.
            Tujuan pemberontakan dalam esai “pembaca tidak memesan sastra modern”  ini sebetulnya pemberontakan terhadap keterbatasan akibat terbelenggu  dan mencari kemungkinan untuk perkembangan yang baru, yang menjadikan sastra indonesia menjadi lebih baik, sastra tidak selalu menyerang politik, sastra membicarakan politik karena politik yang terlebih dahulu membuat keadaan yang tidak pantas, sehingga sastra terpaksa untuk berdiri dan bersuara lantang, selain sastra memang siapa yang lebih berani menyuarakan suara rakyat kecil dengan begitu tegas, namun tetap pada aturan yang ada dalam sastra yaitu seni dan kreatifitas yang indah sehingga menarik untuk dibaca, dari pembaca ini lah sastra menumbuhkan pemberontakan terhadap kekuasaan yang kurang baik dalam pemerintahan.
            Persengketaan yang lebih besar menurut saya adalah tentang manifesto kebudayaan konsep kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para seniman dan cendikiawan Indonesia pada tahun 1963. Manifes ini bertujuan melawan momopoli dan tekanan dari golongan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Manifesto Kebudayaan juga dijuluki  sebagai Manikebu. didalam Manifes Kebudayaan tersebut adalah tentang cita-cita politik nasional, lebih lengkap mengenai isi Manifes Kebudayaan sebagai berikut: “Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita politik Kebudayaan Nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami”. dengan ditandatangani oleh para sastrawan dan cendikiawan  Indonesia salah satunya adalah Goenawan Muhamad. Manifes ini tidak berjalan begitu saja, seperti suatu hal yang baru pasti menimbulkan prokontara diantara pendukung dan penolaknya, tidak lama setelah itu Presiden Sukarno melarang adanya Manifes Kebudayaan ini dengan alasan sudah ada Manifesto Politik Republik Indonesia yang telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin ada yang berdiri mendampingi Manifesto ini, selain itu para sastrawan dan cendikiawan ini menunjukan sikap yang kurang setuju dengan “Revolusi” karena revolusi dianggap menjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh partai politik pada saat kejadian besar itu terjadi. Perlawananpun menyeruak dikalangan sastrawan Manikebu. Lekra dengan pandangan realis sosialis yang mengangkat tentang kebudayaan rakyat dan pembebasan kaum tertindas, lekra layaknya boneka politik hanya sebagai alat untuk menarik perhatian rakyat agar percaya terhadap politik yang dijunjungnya. Ini akan mengancam prinsip-prinsip estetika dan menjerumuskan karya seni pada alat  politik untuk menarik hati masyarakat.
            Kita lirik esai Wan Anwar yang berjudul “menggali akar, menuju luar”   memperlihatkan bagaimana superior kekuasaan orde baru yang menutup semua kemungkinan bagi sastra untuk berkembang menjadi bunga teratai yang indah, pada masa ini tidak ada yang berani yang menggoyahkan pohon beringin yang tertancap kedasar perut bumi, sastrawan pada saat itu seperti malu-malu mengungkapkan isi pikirannya, dengan bahasa yang sangat gelap mereka semata-mata ingin bersuara dan menolak belenggu yang mengikat ini, bahasa-bahasa yang digunakan sangat tidak dimengeti oleh masyarakat awan karena disana memiliki kerumitan yang dibuat agar tidak diketahui maksudnya oleh pemerintah pada saat itu.
Contoh puisi pamflet yang digunakan oleh Rendara pada masa pembangunan, saya menemukan dalam “Tempo online” tentang sekelumit sastra dan politik:  “kumpulan sajak Rendra Potret Pembangunan Dalam Puisi (terbitan LSP, 1980). Dalam buku itu Rendra menulis pamflet. Pamflet bukan tabu bagi penyair, katanya. Di situ, alhasil, kita hanya menemui "sisa-sisa" kebagusan puisinya yang lama. Yang hendak ditonjolkannya adalah pesan-pesan politik. Sebagai "risalah potitik" ia tajam. Sebagai bacaan tetap punya tempat dan daya tarik kuat. Sebagai penyair Rendra nampaknya memang bukan penyair "puritan". Setiap bentuk puritanisme mengandung ketidakbebasan. Ternasuk ketidak-bebasan untuk mengatakan sesuatu yang "jorok", mengekspresikan sesuatu secara apa maunya. Dalam hubungan ini pamflet Rendra agaknya tak tepat hanya didekati sebagai karya sastra. Melintasi itu, ia lebih menekankan soal keterlibatannya pada masalah "pembangunan"”.  Yang dimaksud dengan “puritan” disini adalah orang yang hidup menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai sesuatu yang salah atau dosa. Rendra sebagai sastrawan yang bebas menugkapkan gagasan kedalam puisi sebagai respons politik yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan yang dilakukan Rendra bukanlah eksistensi kebaruan yang dirumuskan secara negatif, tetapi lebih untuk mendapatkan format realitas masa kini, begitulah yang dikatakan Afrizal pada esainya.
Sastra pada masa tahun 90-an terjebak pada permainan permainan politik dan pengaruh kapitalisme yang menjadi raksasa, dengan iklan-iklan yang memikat, para sastrawan harus bekerja keras untuk menulis dan mempertahankan sastra sebagai sastra. Bagaimana tidak, pada masa reformasi hampir semua sastrawan menulis tentang reformasi, apakah itu sastra bukan hanya sebagai catatan tentang reformasi, jauh sebelum reformasi para sastrawan bayak menulis karya-karya yang menggugat rezim yang otoriter yang memicu sengketa-sengketa antara sastra dan politik. Wan Anwar menyarankan sastra agar tidak terpaku terhadap realitas politik atau respon terhadap politik yang terjadi pada saat itu, namun Wan Anwar  mengatakan: “sesungguhnya ada di daerah-daerah yang masih menyimpan kekayaan tradisi, kearifan lokal, dan sejumlah problem yang khas milik lokal-lokal itu”. Sastra monoton menyoroti kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah untuk kepentingan rakyat, tapi juga mengakat kearifan lokal yang mungkin belum terjamah oleh karya sastra, sehingga sastra Indonesia menjadi lebih luas, tidak hanya mengungkap hal-hal basi yang ada di dalam politik seperti korupsi, nepotisme, kebijakan yang tidak relefan dengan keadaan rakyat, dan lain sebagainya.
Sastrawan seringkali terjerumus oleh pancingan politik dan akhirnya sastrawan atau seniman malah terlibat dalam aktivitas seni yang menunjukan sisi politik daripada ke arah seni keindahan yang menjadi porsi mereka, memang jika bukan sastra yang menjadi penyuara suara rakyat siapa lagi? Anggota wakil rakyat seharusnya yang tau keluh kesah rakyat, tapi semuanya hanya sebuah nama yang didalamnya tidak memiliki arti menunjukan itu wakil rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk penguasa, toh itu yang terjadi pada negara ini memang demikian, bagamana mungkin sastra tidak angkat bicara pada masalah politik yang seperti itu.
Selepas dari kejadian demi kejadian yang memperkeruh keadaan antara politik dan sastra. Sastra seakan tidak bisa membuka sayap untuk terbang tinggi mengejar sastra dunia, bahkan dianggap tidak ada karya yang menjadi aroma harum, sastra Indonesia selalu diwarnai oleh warna-warna hitam tinta politik yang bergejolak  di Negeri ini.
Seharusnya bagaimana sastra lebih berwarna karena di Indonesia masih banyak yang belum terjamah oleh keindahan sastra, menaggapi politik yang selalu mengepung pikiran para sastrawan untuk menyorot sisi-sisi yang memang harus untuk disorot, memang sastra adalah sastra, dan politik adalah politik tidak mungkin ada satu titik terang yang akan mempersatuka keduanya,
 Sejak lahirnya Revormasi sampai saat ini sudah tidak terdengar lagi persengketaan antara politik dan sastra, bahkan sastra seolah tak ingin lagi merespons keadaan yang terjadi dikancah politik saat ini, malah sekarang yang lebih aktif menggembor-gemborkan masalah politik adalah media masa, bahkan banyak sekali pemberitaan yang mengkritik tentang politik, apakah sastrawan seperti Rendra sudah tidak ada lagi?, jika begitu siapa yang akan berteriak lantang menyuarakan suara rakyat.
Dimasa ini orang-orang hanya menganggap sastra hanya sebagai bacaan yang ringan dan menarik untuk dibaca karena mengandung cerita-cerita seperti disinetron, banyak sekali puisi-puisi romantisme, feminisme juga makin mendominasi sastra sekarang ini, hanya saja orang-orang yang mengerti sastra tidak ada yang bergerak dalam penulisan yang mengkritik bagaimana pemerintahan yang menempatkan orang-orang miskin diselokan, seperti yang dikatakan oleh Rendra pada masa Suharto dulu, banyak sekali komunitas-komunitas yang bergerak dibidang sastra, tetapi hanya menulis karya-karya novel best saller yang bertemakan tidak jauh dari cinta, agama, dan cita-cita, memang sangat disayangkan jika manusia-manusia zaman sekarang sudah tidak peduli lagi dengan urusan politik yang mengatur mereka dalam sebuah negara yang mereka tempati ini, hanya memikirkan bagaimana bisa sarapan, bisa makan siang, dan bisa makan malam ditepi pantai, sedangkan masih banyak orang-orang yang tertindas oleh otoritas politik yang membelenggu jiwa, politik merubah ustad menjadi pemimpin partai, artis menjadi wakil gubernur dan wakil rakyat, pengusaha menjadi mentri, dan masih banyak lagi, semenarik itukah politik sekarang, sampai-sampai banyak yang memutar haluan hidupnya demi politik.
Mungkinkah sastrawan jaga ikut dengan tren yang saya sebut tren politik masa kini, dengan gaya politik korupsi tiada akhir, dunia ini seperti sudah diparodikan oleh orang-orang yang bermain peran dalam opera, tidak aneh memang jika orang-orang yang bermain opera parodi seperti ini selalu membuat lelucon yang aneh untuk sebagian orang yang tidak mengerti tentang seni pertunjukan. Yang penting bisa membuat orang tertawa terbahak-bahak, melihat politik bagaikan melihat sinetron yang bisa berubah sesaat, yang tadinya lawan bisa jadi lawan, begitupen sebaliknya. Inilah pekerjaan rumah para cendikiawan dan sastrawan khususnya, untuk beranjak dan langkah kedepan menyuarakan suara-suara yang hilang setelah Rendra meninggal.
Pekerjaan besar yang dihadapi sastra Indonesia pada periode ini adalah bagaimana cara melangkah kedepan dan tidak menunggu polemik kebudayaan yang selalu membuat posisi sastra dilihat oleh khalayak, Sastra Indonesia hanya berjalan ditempat belum ada gerakan yang mampu membuat sastra Indonesia dilirik oleh Negara lain dan bahkan dibaca oleh orang-orang yang ada diluar negeri, hal ini harus dimulai dari aktivitas pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah sampai tingkat universitas, dalam segala tingkatan sastra digabungkan dengan bahasa Indonesia,  baru dalam tingkatan universitas ada jurusan sastra, di kampus-kampus sastra dianggap sebagai jurusan yang mudah dibandingkan dengan jurusan-jurusan yang lain. Dalam kehidupan sehari-haripun sastra tidak lagi hangat seperti diera 6o-an.
Demikian bagaimana sengketa demi sengketa yang terjadi dalam perjalanan sastra dan politik di Indonesia, tentu saja sastra Indonesia  tidak ingin berjalan ditempat yang itu-itu saja. Mungkin bila nanti politik negara ini sudah seimbang dan membuat rakyat yang berada didalamnya sudah menjadi sejahtera, setidaknya bisa melangkah satu langkah saja dari tahap ini, sastra Indonesia akan ikut melangkah beriring dengan politik yang berjalan. Sesungguhnya perkembangan sejarah sastra dunia pun mengikuti perkemabangan politik dunia, jadi sebetulnya sastra bisa berkembang jika sastrawan terhimpit oleh belenggu politik yang ada disekitar masyarakat.
Esai-esai yang saya baca mengenai sastra dan politik tidak jauh dari persengketaan, dalam esai Wan Anwar berbicara mengenai sebuah respons sekaligus kritik terhadap situasi politik pada era 90-an, serta menyarankan untuk menggali kearifan lokal yang belum terjamah para sastrawan. Sedangkan dalam esai Afizal Malna yang berjudul  “Pembaca Tidak Memesan Sastra Modern”  mengenai semangat pembaruan individualis seorang Rustam Effendi yang telah dijelaskan diatas, dan dalam esai GM menyinggung Manifes Kebudayaan yang berisikan perdebatan sengit antara kubu realis sosialis (LEKRA) dengan kubu Manifes kebudayaan yang sering disebut Manikebu.
Sudah saatnya kita berjalan berdampingan saling menguntungkan, saling berjabat tangan untuk masa depan sastra dan politik bangsa Indonesia yang lebih maju dan dapat diterima oleh masyarakat disemua kalangan, ditengah pluralisme yang ada sastra harus mampu untuk diterima dimanapun.



Serang, Juni 2012

    


0 komentar:

Posting Komentar

 
;