Minggu, 17 Juni 2012 0 komentar

SENGKETA SASTRA DAN POLITIK

Nama              : Cepi Zaenal Arifin
NIM                : 2222111101

SENGKETA SASTRA DAN POLITIK
(Membandingkan Esai Wan Anwar, Afisal Malna, dan Goenawan Mohamad)

            Seperti peraturan pemerintah tentang otonomi daerah, yang menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan memberdayakan daerahnya, begitupun dengan Sastra mempunyai otonomi tersendiri yang berdiri tegak dalam wilayah dengan aturan-aturan keindahan yang menggambarkan kehidupan yang ada dalam masyarakat, begitu juga dikubu politik yang mempunyai wilayah yang mengatur keberlangsungan kehidupan bermasyatakat, berbangsa, dan bernegara yang identik dengan “simbol kekuasaan”. Seperti layaknya daerah yang mempunyai perbatasan bedekatan selalu saja ada sengketa yang tak akan surut diterpa perubahan zaman, selalu ada dan tak akan pernah selesai. Sastra yang identik dengan seni dan kebebasan yang indah selalu menggambarkan kehidupan bermasyarakat termasuk kehidupan politik dengan campur tangan kreatif sang pengarang, sedangkan politik dianggap sebagai catur orang-orang yang haus akan kekuasaan yang membelenggu jiwa.
            Sastra tidak hanya berupa karya hasil imajinatif seorang pengarang, namun sastra adalah salah satu cara menikmati peristiwa-peristiwa politik yang begitu mendominasi kehidupan kita, satra selalu hadir dengan muka yang berbeda dengan muka-muka politik, memiliki pilihan yang berbeda, pandangan berbeda, inilah yang membuat persoalan menjadi rumit, masalahnya adalah Politik yang selalu mengekang kretifitas pelaku seni pada masa revolusi maka disini sastra sebagai pemberontak terhadap kekuasaan politik, dari masa ke masa selalu terjadi pemberontakan misalnya, pada tahun 1926 perlawanan Rustam Effendi dengan novel bebasari yang mendapat kecaman dari berbagai pihak yang membaca novel tersebut. Dalam novel tersebut menggambarkan bagaimana seorang pemuda melawan belenggu orang tuanya sendiri untuk melepaskan putri Bebasari yang menyimbolkan ibu pertiwi, pemerintahan kolonial yang pada saat itu masih berada di Nusantara dengan kekuasaan penuh membelenggu setiap kreatifitas yang ada, rakyat Indonesia pada saat tu tak ada yang berani menatap keatas, apa lagi sampai mengkritik pemerintahanya, bahkan pada saat itu buku-buku yang tidak sesuai keinginan politik kolonial tidak akan mendapat izin terbit. dalam esai Afrizal Malna tidak begitu menjelaskan tentang sastra dan politik, namun lebih menonjolkan bagaimana sastra terbelenggu oleh tradisi yang dibuat oleh monopoli kekuasaan kolonial, Afrizal menggambarkan “beberapa penyair yang dalam puisinya pernah memperlibatkan semangat pemberontakan”.
            Tujuan pemberontakan dalam esai “pembaca tidak memesan sastra modern”  ini sebetulnya pemberontakan terhadap keterbatasan akibat terbelenggu  dan mencari kemungkinan untuk perkembangan yang baru, yang menjadikan sastra indonesia menjadi lebih baik, sastra tidak selalu menyerang politik, sastra membicarakan politik karena politik yang terlebih dahulu membuat keadaan yang tidak pantas, sehingga sastra terpaksa untuk berdiri dan bersuara lantang, selain sastra memang siapa yang lebih berani menyuarakan suara rakyat kecil dengan begitu tegas, namun tetap pada aturan yang ada dalam sastra yaitu seni dan kreatifitas yang indah sehingga menarik untuk dibaca, dari pembaca ini lah sastra menumbuhkan pemberontakan terhadap kekuasaan yang kurang baik dalam pemerintahan.
            Persengketaan yang lebih besar menurut saya adalah tentang manifesto kebudayaan konsep kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para seniman dan cendikiawan Indonesia pada tahun 1963. Manifes ini bertujuan melawan momopoli dan tekanan dari golongan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Manifesto Kebudayaan juga dijuluki  sebagai Manikebu. didalam Manifes Kebudayaan tersebut adalah tentang cita-cita politik nasional, lebih lengkap mengenai isi Manifes Kebudayaan sebagai berikut: “Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita politik Kebudayaan Nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami”. dengan ditandatangani oleh para sastrawan dan cendikiawan  Indonesia salah satunya adalah Goenawan Muhamad. Manifes ini tidak berjalan begitu saja, seperti suatu hal yang baru pasti menimbulkan prokontara diantara pendukung dan penolaknya, tidak lama setelah itu Presiden Sukarno melarang adanya Manifes Kebudayaan ini dengan alasan sudah ada Manifesto Politik Republik Indonesia yang telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin ada yang berdiri mendampingi Manifesto ini, selain itu para sastrawan dan cendikiawan ini menunjukan sikap yang kurang setuju dengan “Revolusi” karena revolusi dianggap menjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh partai politik pada saat kejadian besar itu terjadi. Perlawananpun menyeruak dikalangan sastrawan Manikebu. Lekra dengan pandangan realis sosialis yang mengangkat tentang kebudayaan rakyat dan pembebasan kaum tertindas, lekra layaknya boneka politik hanya sebagai alat untuk menarik perhatian rakyat agar percaya terhadap politik yang dijunjungnya. Ini akan mengancam prinsip-prinsip estetika dan menjerumuskan karya seni pada alat  politik untuk menarik hati masyarakat.
            Kita lirik esai Wan Anwar yang berjudul “menggali akar, menuju luar”   memperlihatkan bagaimana superior kekuasaan orde baru yang menutup semua kemungkinan bagi sastra untuk berkembang menjadi bunga teratai yang indah, pada masa ini tidak ada yang berani yang menggoyahkan pohon beringin yang tertancap kedasar perut bumi, sastrawan pada saat itu seperti malu-malu mengungkapkan isi pikirannya, dengan bahasa yang sangat gelap mereka semata-mata ingin bersuara dan menolak belenggu yang mengikat ini, bahasa-bahasa yang digunakan sangat tidak dimengeti oleh masyarakat awan karena disana memiliki kerumitan yang dibuat agar tidak diketahui maksudnya oleh pemerintah pada saat itu.
Contoh puisi pamflet yang digunakan oleh Rendara pada masa pembangunan, saya menemukan dalam “Tempo online” tentang sekelumit sastra dan politik:  “kumpulan sajak Rendra Potret Pembangunan Dalam Puisi (terbitan LSP, 1980). Dalam buku itu Rendra menulis pamflet. Pamflet bukan tabu bagi penyair, katanya. Di situ, alhasil, kita hanya menemui "sisa-sisa" kebagusan puisinya yang lama. Yang hendak ditonjolkannya adalah pesan-pesan politik. Sebagai "risalah potitik" ia tajam. Sebagai bacaan tetap punya tempat dan daya tarik kuat. Sebagai penyair Rendra nampaknya memang bukan penyair "puritan". Setiap bentuk puritanisme mengandung ketidakbebasan. Ternasuk ketidak-bebasan untuk mengatakan sesuatu yang "jorok", mengekspresikan sesuatu secara apa maunya. Dalam hubungan ini pamflet Rendra agaknya tak tepat hanya didekati sebagai karya sastra. Melintasi itu, ia lebih menekankan soal keterlibatannya pada masalah "pembangunan"”.  Yang dimaksud dengan “puritan” disini adalah orang yang hidup menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai sesuatu yang salah atau dosa. Rendra sebagai sastrawan yang bebas menugkapkan gagasan kedalam puisi sebagai respons politik yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan yang dilakukan Rendra bukanlah eksistensi kebaruan yang dirumuskan secara negatif, tetapi lebih untuk mendapatkan format realitas masa kini, begitulah yang dikatakan Afrizal pada esainya.
Sastra pada masa tahun 90-an terjebak pada permainan permainan politik dan pengaruh kapitalisme yang menjadi raksasa, dengan iklan-iklan yang memikat, para sastrawan harus bekerja keras untuk menulis dan mempertahankan sastra sebagai sastra. Bagaimana tidak, pada masa reformasi hampir semua sastrawan menulis tentang reformasi, apakah itu sastra bukan hanya sebagai catatan tentang reformasi, jauh sebelum reformasi para sastrawan bayak menulis karya-karya yang menggugat rezim yang otoriter yang memicu sengketa-sengketa antara sastra dan politik. Wan Anwar menyarankan sastra agar tidak terpaku terhadap realitas politik atau respon terhadap politik yang terjadi pada saat itu, namun Wan Anwar  mengatakan: “sesungguhnya ada di daerah-daerah yang masih menyimpan kekayaan tradisi, kearifan lokal, dan sejumlah problem yang khas milik lokal-lokal itu”. Sastra monoton menyoroti kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah untuk kepentingan rakyat, tapi juga mengakat kearifan lokal yang mungkin belum terjamah oleh karya sastra, sehingga sastra Indonesia menjadi lebih luas, tidak hanya mengungkap hal-hal basi yang ada di dalam politik seperti korupsi, nepotisme, kebijakan yang tidak relefan dengan keadaan rakyat, dan lain sebagainya.
Sastrawan seringkali terjerumus oleh pancingan politik dan akhirnya sastrawan atau seniman malah terlibat dalam aktivitas seni yang menunjukan sisi politik daripada ke arah seni keindahan yang menjadi porsi mereka, memang jika bukan sastra yang menjadi penyuara suara rakyat siapa lagi? Anggota wakil rakyat seharusnya yang tau keluh kesah rakyat, tapi semuanya hanya sebuah nama yang didalamnya tidak memiliki arti menunjukan itu wakil rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk penguasa, toh itu yang terjadi pada negara ini memang demikian, bagamana mungkin sastra tidak angkat bicara pada masalah politik yang seperti itu.
Selepas dari kejadian demi kejadian yang memperkeruh keadaan antara politik dan sastra. Sastra seakan tidak bisa membuka sayap untuk terbang tinggi mengejar sastra dunia, bahkan dianggap tidak ada karya yang menjadi aroma harum, sastra Indonesia selalu diwarnai oleh warna-warna hitam tinta politik yang bergejolak  di Negeri ini.
Seharusnya bagaimana sastra lebih berwarna karena di Indonesia masih banyak yang belum terjamah oleh keindahan sastra, menaggapi politik yang selalu mengepung pikiran para sastrawan untuk menyorot sisi-sisi yang memang harus untuk disorot, memang sastra adalah sastra, dan politik adalah politik tidak mungkin ada satu titik terang yang akan mempersatuka keduanya,
 Sejak lahirnya Revormasi sampai saat ini sudah tidak terdengar lagi persengketaan antara politik dan sastra, bahkan sastra seolah tak ingin lagi merespons keadaan yang terjadi dikancah politik saat ini, malah sekarang yang lebih aktif menggembor-gemborkan masalah politik adalah media masa, bahkan banyak sekali pemberitaan yang mengkritik tentang politik, apakah sastrawan seperti Rendra sudah tidak ada lagi?, jika begitu siapa yang akan berteriak lantang menyuarakan suara rakyat.
Dimasa ini orang-orang hanya menganggap sastra hanya sebagai bacaan yang ringan dan menarik untuk dibaca karena mengandung cerita-cerita seperti disinetron, banyak sekali puisi-puisi romantisme, feminisme juga makin mendominasi sastra sekarang ini, hanya saja orang-orang yang mengerti sastra tidak ada yang bergerak dalam penulisan yang mengkritik bagaimana pemerintahan yang menempatkan orang-orang miskin diselokan, seperti yang dikatakan oleh Rendra pada masa Suharto dulu, banyak sekali komunitas-komunitas yang bergerak dibidang sastra, tetapi hanya menulis karya-karya novel best saller yang bertemakan tidak jauh dari cinta, agama, dan cita-cita, memang sangat disayangkan jika manusia-manusia zaman sekarang sudah tidak peduli lagi dengan urusan politik yang mengatur mereka dalam sebuah negara yang mereka tempati ini, hanya memikirkan bagaimana bisa sarapan, bisa makan siang, dan bisa makan malam ditepi pantai, sedangkan masih banyak orang-orang yang tertindas oleh otoritas politik yang membelenggu jiwa, politik merubah ustad menjadi pemimpin partai, artis menjadi wakil gubernur dan wakil rakyat, pengusaha menjadi mentri, dan masih banyak lagi, semenarik itukah politik sekarang, sampai-sampai banyak yang memutar haluan hidupnya demi politik.
Mungkinkah sastrawan jaga ikut dengan tren yang saya sebut tren politik masa kini, dengan gaya politik korupsi tiada akhir, dunia ini seperti sudah diparodikan oleh orang-orang yang bermain peran dalam opera, tidak aneh memang jika orang-orang yang bermain opera parodi seperti ini selalu membuat lelucon yang aneh untuk sebagian orang yang tidak mengerti tentang seni pertunjukan. Yang penting bisa membuat orang tertawa terbahak-bahak, melihat politik bagaikan melihat sinetron yang bisa berubah sesaat, yang tadinya lawan bisa jadi lawan, begitupen sebaliknya. Inilah pekerjaan rumah para cendikiawan dan sastrawan khususnya, untuk beranjak dan langkah kedepan menyuarakan suara-suara yang hilang setelah Rendra meninggal.
Pekerjaan besar yang dihadapi sastra Indonesia pada periode ini adalah bagaimana cara melangkah kedepan dan tidak menunggu polemik kebudayaan yang selalu membuat posisi sastra dilihat oleh khalayak, Sastra Indonesia hanya berjalan ditempat belum ada gerakan yang mampu membuat sastra Indonesia dilirik oleh Negara lain dan bahkan dibaca oleh orang-orang yang ada diluar negeri, hal ini harus dimulai dari aktivitas pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah sampai tingkat universitas, dalam segala tingkatan sastra digabungkan dengan bahasa Indonesia,  baru dalam tingkatan universitas ada jurusan sastra, di kampus-kampus sastra dianggap sebagai jurusan yang mudah dibandingkan dengan jurusan-jurusan yang lain. Dalam kehidupan sehari-haripun sastra tidak lagi hangat seperti diera 6o-an.
Demikian bagaimana sengketa demi sengketa yang terjadi dalam perjalanan sastra dan politik di Indonesia, tentu saja sastra Indonesia  tidak ingin berjalan ditempat yang itu-itu saja. Mungkin bila nanti politik negara ini sudah seimbang dan membuat rakyat yang berada didalamnya sudah menjadi sejahtera, setidaknya bisa melangkah satu langkah saja dari tahap ini, sastra Indonesia akan ikut melangkah beriring dengan politik yang berjalan. Sesungguhnya perkembangan sejarah sastra dunia pun mengikuti perkemabangan politik dunia, jadi sebetulnya sastra bisa berkembang jika sastrawan terhimpit oleh belenggu politik yang ada disekitar masyarakat.
Esai-esai yang saya baca mengenai sastra dan politik tidak jauh dari persengketaan, dalam esai Wan Anwar berbicara mengenai sebuah respons sekaligus kritik terhadap situasi politik pada era 90-an, serta menyarankan untuk menggali kearifan lokal yang belum terjamah para sastrawan. Sedangkan dalam esai Afizal Malna yang berjudul  “Pembaca Tidak Memesan Sastra Modern”  mengenai semangat pembaruan individualis seorang Rustam Effendi yang telah dijelaskan diatas, dan dalam esai GM menyinggung Manifes Kebudayaan yang berisikan perdebatan sengit antara kubu realis sosialis (LEKRA) dengan kubu Manifes kebudayaan yang sering disebut Manikebu.
Sudah saatnya kita berjalan berdampingan saling menguntungkan, saling berjabat tangan untuk masa depan sastra dan politik bangsa Indonesia yang lebih maju dan dapat diterima oleh masyarakat disemua kalangan, ditengah pluralisme yang ada sastra harus mampu untuk diterima dimanapun.



Serang, Juni 2012

    


Selasa, 05 Juni 2012 0 komentar
jika ku punya kesempatan nanti, salah satu tempat yang ingin ku kunjungi adalah gunung BROMO
Senin, 04 Juni 2012 0 komentar

buat animasi

0 komentar

04:06:12


Jumat, 01 Juni 2012 0 komentar

demi handoyan ku aku bermimpi

‎(sic!)
tidak untuk kepentingan diri sendiri,
aku berdiri menjait setiap lembaran mimpi,
ingin ku menghilang sejenak, 
untuk melupakan penyesalan,
lalu kembali dengan wajah berhiaskan senyuman,
1;06;12
Rabu, 30 Mei 2012 0 komentar

nasib malang sastra indonesia

Posted by PuJa on May 30, 2012
JILFest 2008
Triyanto Triwikromo
http://www.suaramerdeka.com/
NASIB sastra Indonesia masih malang dan terlunta-lunta. Setidaknya itulah simpulan yang bisa dipetik dari seminar yang berlangsung dalam Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2008 di The Batavia Hotel Jakarta, 11-14 Desember.
Dalam seri seminar bertema ”Sastra Indonesia di Mata Dunia” (Dr Katrin Bandel, Prof Dr Koh Young Hun, Prof Dr Abdul Hadi WM), ”Prospek Penerbitan Sastra Indonesia di Mancanegara” (Prof Dr Nikihiro Moriyama, Jamal Tukimin MA, Dr Naria Emilia Irmler, Putu Wijaya), dan ”Politik Nobel Sastra” (Prof Dr Henry Chambert-Loir, Dr Stevan Danarek, Prof Dr Budi Darma), sastra Indonesia kurang mendapat perhatiaan dari penerbit apalagi pembaca luar negeri.
Katrin Bandel, kritikus asal Jerman yang kini tinggal di Yogyakarta, bahkan berani menyatakan betapa orang-orang luar negeri, terutama Eropa, tidak peduli pada sastra Indonesia. ”Jika ada buku yang diterbitkan, penerbitnya kecil dan pembacanya tidak banyak.”Karena itu, menurut pendapat penulis Sastra, Perempuan, Seks ini, para sastrawan (Indonesia) tidak perlu terlalu memburu pembaca luar negeri. ”Memangnya kalau tidak dibaca oleh mereka mengapa sih?” tanya dia.
Putu Wijaya menyepakati pendapat Bandel. Kata dia, ”Harus diakui para pengarang Indonesia masih belum banyak dikenal, meskipun di kampus-kampus mereka dibicarakan. Semua ini karena karya sastra kita belum diterjemahkan dalam bahasa asing.” Meskipun demikian Jamal Tukimin dari Singapura memberikan data lain. Buku Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El-Shirazy) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata) laris di Singapura. ”Hampir semua toko buku menjual buku-buku, terutama bertema Islam terbitan Indonesia. Jumlahnya mencapai 75% dari buku yang beredar.”
Hadiah Nobel
Adapun di Korea sebagaimana diungkapkan oleh Koh Young Hun, kecuali karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Mochtar Lubis, belum muncul lagi terbitan karya sastra (besar) lain. Di Jepang, setidaknya sebagaimana dicatat oleh Moriyama, baru karya-karya Mochtar Lubis, Ahmad Tohari, Pramoedya Ananta Toer, YB Mangunwijaya, Rendra, Ajip Rosidi, Ayu Utami, Eka Kurniawan, Yudhistira ANM Massardi, dan Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan. Karena itu pula memang tidak perlu diherankan jika di Portugal karya sastra Indonesia baru sebatas ”dikolaborasikan” dengan penerbitan teks lain. ”Tetapi ini merupakan awal yang baik,” kata Maria Emilia Irmler pembicara dari Portugal.
Bertolak dari kenyataan semacam itu, lalu muncul pertanyaan, bagaimana karya sastra Indonesia bisa meraih hadiah nobel sastra? ”Hadiah terakhir abad ke-20 seharusnya dibagi untuk Gunter Grass dan Pram,” ungkap Danerek, kritikus asal Swedia yang dalam setahun ini mukim di Jakarta.
Apakah syarat mendapatkan nobel sastra sulit? ”Syarat itu tidak terlalu sulit. Hanya, Indonesia terasa jauh sekali dari Stockholm dari segi geografi, sejarah, budaya, dan agama,” ujar Heni Chambert-Loir dari Prancis. ”Diperlukan seratus tahun untuk menemukan sastra Tionghoa, berapa tahun akan diperlukan untuk menemukan sastra Indonesia?”
Jika demikian, tanya seorang peserta seminar, perlukah membuat semacam hadiah nobel sastra sendiri? ”Kita bisa membuat penghargaan semacam itu, tetapi tidak akan diperhatikan dunia,” ungkap Budi Darma. Oh, sungguh malang nasib sastra Indonesia.
17 Desember 2008
Selasa, 29 Mei 2012 0 komentar
INI LAGI DI KELAS
Sabtu, 26 Mei 2012 0 komentar
uhhh, cape loh, abis tampil dari acara wisuda glombang 1 untirta, banyak kesenangan, banyak pelajaran, banyak yang menyebalkan, tapi semua itu pembelajaran untuk jadi lebih baik,
Rabu, 23 Mei 2012 0 komentar

arsip



foto yang suruh di apus pacar gw
Selasa, 22 Mei 2012 0 komentar
editing with photoshop cs 3
Posted by Picasa
0 komentar

220512

semua yang ku lalui ini adalah sebuah perjalanan yang sangat melelahkan tak ada yang mendorongku tak ada yang menariku, aku berdiri dengan sebuah tongkat bambu rapuh, ohhhh, bumi, ohhh, bulan, oohh matahari yang selalu menyaksikan semua yang kulali, apakah kau tau betapa bahagianya diriku ketika melihat kalian selalu menemaniku, tapi kenapa kalian hany diam ketika aku merasa kesepian dalam kesendirian, oohh sungguh tega kalian itu, kalian tau aku punya pacar?, duahari ini dia tidak mengabari ku, aku pun begitu, karena aku tak punya pulsa, ohhh sungguh aku merasa sepi,. aku harus bagaimana? harus kah aku bermain bersama bintang-bintang di sekeliling bulan yang selalu menyaksikan ku,,

sepi

kala ku menatap bulan
kau hanya senyum muram
kala ku tatap bintang
kau malah menghilang
Senin, 21 Mei 2012 0 komentar

Karakter

pembentukan karakter seseorang dimulai dari hal-hal yang kecil dan dilakukan secara berulang-ulang kemudian menjadi kebiasaan (budaya hidup) kemudian selanjutnya akan menjadi karakter seseorang, begitulah yang ku dengar dari sambutan dekan FKIP Unturta, 210512
0 komentar
210512

terkadang semua persiapan tidak ada artinya jika keadaan tidak mendukung, (semesta memnentukan)
dan jatuhkan lawan mu dengan gretakan yang sangat heboh.

mantan pacar bukan berarti mantan teman,.

satu hal yang paling membuat hari ini ternoda ketika bertemu orang-orang yang asik untuk diajak bicara dan tempat yang asik untuk berteduh ketika istirahat kuliah, membuat perubahan yang derastis, serta merta menyalahkan orang yang baru datang ketempat tersebut,. (senior sok senior)
Minggu, 20 Mei 2012 0 komentar

SASTRA KONTEKSTUAL

Saut Situmorang

http://sautsitumorang.multiply.com/

Polemik atas apa yang disebut sebagai "sastra kontekstual" di media massa terbitan pulau Jawa di pertengahan tahun 1980an bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang (berpretensi) mempersoalkan isu tradisi dan bakat individu dalam sastra Indonesia. Arief Budiman dan Ariel Heryanto, kedua tokoh utama yang gencar mempropagandakan apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai "sastra kontekstual" tersebut, yakin bahwa tradisi "bersastra" dalam sastra Indonesia, yang mereka klaim sebagai tradisi "sastra universal" itu, merupakan tradisi yang "tidak berakar" dalam realitas kehidupan Indonesia, "kebarat-baratan", makanya "teralienasi", "menjadi asing di negerinya sendiri" (lihat buku Perdebatan Sastra Kontekstual, 1985, susunan Ariel Heryanto). Apa yang jadi masalah dalam sastra Indonesia, menurut Arief Budiman, misalnya, adalah "kenyataan" bahwa "sastra Indonesia tidak akrab dengan publiknya. Atau lebih tepat, publiknya adalah kritikus-kritikus yang berwawasan kesusastraan Barat". Karena itu, sastra Indonesia "ibarat pohon, dia tidak bisa tumbuh, karena tidak punya tanah. Dia hanya menggapai-gapai ke atas. Sedangkan akarnya tidak menyentuh tanah". Sastrawan Indonesia, menurut Arief Budiman lagi, menulis hanya untuk "audience yang ada di Barat", "sastrawan-sastrawan atau kritisi Barat", tapi ironisnya justru "tidak diakui oleh dunia Barat", yang oleh Arief direpresentasikan oleh Hadiah Nobel Sastra yang belum pernah dimenangkan oleh sastrawan Indonesia itu, sehingga akibatnya secara psikologis sastrawan Indonesia memiliki karakter kombinasi dari "perasaan megalomaniak dan rendah diri". Megalomaniak karena membodoh-bodohkan bangsanya sendiri yang gagal menghargai karya sastranya, dan rendah diri karena karyanya belum dapat dihargai oleh orang-orang Barat. Demikianlah "kritik sosiologi sastra" ala sosiolog Arief Budiman.


 


 

Membaca kembali tulisan-tulisan Arief Budiman dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual tersebut ada beberapa hal yang mencengangkan saya, terutama kalau saya mempertimbangkan reputasi Arief Budiman di dunia intelektual Indonesia selama periode Orde Baru. Reputasi Arief Budiman yang saya maksudkan itu mungkin akan lebih jelas teruraikan dengan kutipan pendapat Ariel Heryanto dari bagian "pendahuluan" buku Perdebatan Sastra Kontekstual di bawah ini:



"Arief Budiman mempunyai kombinasi kualitas yang jarang sekali dimiliki oleh warga masyarakat kita pada umumnya. Ia tidak hanya populer di kalangan pengamat "sastra" (atau "seni" umumnya) di Indonesia masa ini, tetapi juga kaum sekolahan yang menjadi bagian (ter)penting dari pembaca media-massa, termasuk mereka yang tidak benar-benar tertarik pada masalah "sastra". Ia tidak saja berotak cemerlang dan berkepribadian kokoh. Gagasan-gagasannya yang segar dan tajam berkali-kali menimbulkan kontroversi besar di antara para cendekiawan."


 

Dengan mengutip secara panjang pendapat Ariel di atas tentang sosok intelektual Arief Budiman, saya hanya ingin menekankan betapa besarnya kekecewaan intelektual saya waktu membaca tulisan-tulisannya tentang "sastra kontekstual" dalam buku susunan Ariel tersebut. Pertama, Arief Budiman mengklaim bahwa apa yang ingin dikemukakannya dalam ceramahnya "Sastra yang Berpublik" di Sarasehan Seni di Solo, 28 Oktober 1984, yang menjadi pemicu terjadinya perdebatan sastra kontekstual tersebut adalah "mengenai sosiologi kesenian". Dia bahkan yakin bahwa apa "Yang saya bahas kebanyakan berlaku untuk kesusastraan, tapi saya kira untuk batas-batas tertentu juga merupakan persoalan di bidang kesenian umumnya". Persoalan itu adalah persoalan "kesusastraan", atau seni, "yang berpublik". Atau apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai "sastra kontekstual" itu.



Bagi saya, pembicaraan Arief Budiman, baik dalam ceramahnya itu maupun di tulisan-tulisannya di media massa setelah itu, bukanlah sebuah "sosiologi kesenian". Terlalu gampang dia mengklaim pendapat-pendapatnya tersebut sebagai sebuah "sosiologi" hanya karena dia dikenal sebagai seorang "sosiolog". Apa yang dinyatakannya tentang sastra Indonesia dalam semua tulisannya pada dasarnya hanya klaim-klaim asersif, atau kesimpulan-kesimpulan mentah, yang satu kali pun tidak pernah (mampu) dibuktikannya. Misalnya pernyataannya bahwa (tradisi) sastra Indonesia adalah "sastra universal" yang "tidak berakar" dalam realitas kehidupan Indonesia. Apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan "sastra universal" itu? Apakah sastra di "Barat" memang merupakan contoh dari "sastra universal" yang dimaksudkannya? Apa kriterianya? Juga, "Barat" yang mana yang dia maksud sebagai "Barat" dalam pernyataan-pernyataan xenofobiknya itu: Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur yang dalam konteks terjadinya perdebatan sastra kontekstual itu merupakan bagian dari imperium Uni Soviet? Apakah sastra Selandia Baru yang berbahasa Inggris yang kuat unsur budaya lokal Maorinya itu, misalnya, termasuk "sastra Barat" itu? Atau karya-karya para sastrawan Afro-Amerika seperti Langston Hughes, Ralph Ellison, Alice Walker, dan Toni Morrison? Arief juga mengklaim bahwa Hadiah Nobel Sastra merupakan semacam standar artistik bagi apa yang disebutnya sebagai "sastra universal", "sastra yang kebarat-baratan" itu, sambil melecehkan kenyataan betapa Tagore dari India dan Kawabata dari Jepang juga mendapatkan penghargaan Nobel dengan menyatakan bahwa kedua sastrawan Asia ini dipilih karena "sedikit banyak mereka memenuhi standar penulisan orang-orang di dunia Barat"! Tapi Arief Budiman lagi-lagi tidak mampu menjelaskan apa yang dimaksudkannya sebagai "standar penulisan orang-orang di dunia Barat" itu, atau paling tidak apa karakteristik karya sastra yang jadi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Bagaimana kita bisa percaya bahwa dia memang sedang melakukan sebuah "sosiologi kesenian" kalau isi dari semua pembicaraannya cuma repetisi dari klaim-klaim asersif yang tanpa bukti-bukti alias tergantung pada kata hatinya belaka! Kekecewaan kedua saya adalah bahwa kegagalan teoritis ini makin diperparah oleh kenyataan betapa Arief Budiman, dan Ariel Heryanto, malah tidak mampu memberikan elaborasi konseptual atas apa sebenarnya yang mereka maksud sebagai "sastra kontekstual" itu sendiri, kecuali bahwa "sastra kontekstual" itu adalah "sastra yang berpublik", "sastra yang tidak kebarat-baratan", "sastra yang berpijak di bumi"! Ketimbang memberikan penjelasan, kita malah dicekoki dengan slogan-slogan yang cuma makin mengaburkan isu apa sebenarnya yang ingin mereka bicarakan.


Terakhir, kalau kita bandingkan "bahasa" yang dipakai Arief Budiman dalam "perdebatan" tentang "sastra kontekstual" dengan bahasa S Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930an, maka terlihatlah betapa parahnya kemerosotan "bahasa intelektual" Arief Budiman. Bukan saja dia mengulang-ulang-tanpa-elaborasi apa-apa yang sudah pernah dinyatakannya sebelumnya, dia juga terjatuh kepada bahasa vulgar yang sangat tidak sesuai dengan pretensi sosiologis tulisan-tulisannya, seperti pemakaian istilah-istilah kolokuial semacam "megalomaniak", "astaga, tahi kerbo apa ini!", atau "teler minum bir". Terutama soal "teler minum bir" ini, dari mana Arief Budiman tahu bahwa kalau seseorang itu menulis esei, sebaiknya dia tidak dalam keadaan mabuk bir? Apakah ini juga merupakan bagian dari "sosiologi sastra" ala Arief Budiman atau sekedar sebuah catatan pinggir otobiografis?!


Persoalan "sosiologi sastra" adalah sebuah persoalan kontekstual dalam dunia sastra di mana saja, kapan saja. Merupakan sebuah persoalan universal sastra. Dari perspektif "kritik sastra", sastra adalah sesuatu yang otonom, sebuah dunia sendiri, dan harus dipahami melalui struktur intrinsiknya, atau arsitektur tekstualnya, seperti imajeri, metafor, irama, penokohan, alur cerita, dan sebagainya, atau apa yang oleh kaum Formalis Rusia disebut sebagai "kesastraan"nya. Menyatakan bahwa sastra hanyalah ekspresi dari kepentingan kelas sosial belaka, atau cuma sebuah epifenomena dari struktur sosial, atau sebuah refleksi/cermin dari kehidupan atau zaman sang pengarang, seperti yang umumnya dilakukan dalam "sosiologi sastra", tentu saja akan menimbulkan resistensi yang kuat dari kalangan sastra(wan), seperti yang terjadi dalam polemik Sastra Kontekstual tersebut. Apalagi kalau menganggap bahwa hanya faktor-faktor ekstrinsik demikian merupakan kunci dalam pemahaman/penafsiran, bahkan sebagai (keharusan) kredo penciptaan, karya sastra seperti yang dipropagandakan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto jelas merupakan sebuah reduksionisme konseptual yang sangat tidak adil atas sastra(wan). Juga merupakan sebuah pelecehan tekstual karena sastra telah digusur-paksa dari habitatnya, yaitu Seni, menjadi cuma sekedar sebuah dokumen sosial belaka – sama dengan berita kriminal di koran atau laporan perjalanan di majalah – seperti pada pemakaian tanda-kutip pada istilah "sastra" oleh Ariel Heryanto. Akan menarik sekali untuk mengetahui apa seorang sosiolog akan rela menerima hasil riset akademisnya tentang korupsi di Indonesia, misalnya, cuma dianggap tidak lebih bernilai ketimbang sebuah episode sinetron yang bertema sama.


Kelemahan lain dari konsep "sastra kontekstual" ala Arief Budiman dan Ariel Heryanto adalah persoalan: siapa yang bisa menentukan bahwa "tokoh-tokoh" ataupun "realitas sosial" dalam sebuah karya "sastra kontekstual" memang benar-benar merupakan "representasi sebenarnya" dari kontekstualisme sastra dimaksud? Apa kriteria untuk menentukannya? Isu-isu penting semacam ini tak pernah sekalipun melintas dalam pemikiran kedua kontekstualis ini, apalagi sampai mereka membicarakannya.


Pemahaman mekanistik atas hubungan antara sastra dan masyarakat seperti yang ditawarkan konsep "sastra kontekstual" merupakan sebuah "sosiologi sastra" yang sangat dogmatis-skematis, kalau tidak mau dikatakan cuma sebuah pseudo-sosiologi-sastra belaka. Ini dengan mudah bisa dilihat hanya dari tuduhan-tuduhan yang dilakukan Arief Budiman atas sastra(wan) Indonesia pada judul tulisan-tulisannya yang berkesan sangat sensasional itu. Ada baiknya saya ingatkan di sini bahwa Marx, Engels dan Trotsky (tiga tokoh utama sosiologi seni Marxis) pun tidak begitu dogmatis dalam "sosiologi sastra" mereka. Walaupun Marx dan Engels tidak pernah menciptakan sebuah teori tentang hubungan sastra dan masyarakat, tapi cukup banyak terdapat "catatan" yang menunjukkan betapa mereka tidak selalu menganggap status sastra hanya sebagai cermin dari proses sosial semata. Dalam tulisan mereka yang sangat terkenal, Manifesto Komunis, mereka menyatakan bahwa kapitalisme adalah representasi dari tahap produksi sosial yang paling maju, sebuah formasi sosial yang progresif. Dan kalau dikaitkan dengan sastra, maka hal ini mengisyaratkan mustahilnya keberadaan sebuah sastra nasional yang mandiri karena kapitalisme mengembangkan berbagai sastra nasional dan lokal menjadi sebuah "sastra dunia", sastra yang melampaui kelas sosial, daerah, dan kebangsaan, dan yang berbicara kepada manusia di mana saja. Atau "sastra universal", dalam istilah Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Engels sendiri, misalnya, menyatakan bahwa dalam sebuah karya sastra yang politis, tendensi politis pengarang sebaiknya implisit saja; ideologi politik bukanlah persoalan utama seniman dan karya itu sendiri pun diuntungkan kalau pandangan pengarangnya tetap tersembunyi. Menurut Engels lagi, tema sebuah novel mesti muncul dengan alami dari situasi dan peristiwa yang diceritakan di dalam novel tersebut. Karena, "tak ada keharusan bagi pengarang untuk menyediakan kepada pembacanya penyelesaian atas konflik sosial yang diceritakannya". Sementara itu dalam pembelaannya atas kaum Formalis Rusia yang diejek-ejek Lunacharsky, Komisar Pendidikan dan Seni Uni Soviet pertama di zaman Lenin, sebagai sebuah "peninggalan budaya dari zaman pra-Rusia Revolusioner", sebuah "eskapisme", dan sebuah "ideologi dekaden", Trotsky menyatakan persetujuannya dengan pandangan kaum Formalis tersebut bahwa penilaian utama atas teks sastra mestilah didasarkan pada kualitas sastranya, bahwa seni memiliki aturan-aturannya sendiri, dan sosiologi Marxis tidak bisa melampaui penilaian estetik.


Sebuah "sosiologi sastra" yang "kontekstual" dengan dirinya sebagai sosiologi "sastra" tidak dapat mereduksi sastra menjadi sekedar cermin dari masyarakatnya semata, menjadi cuma sebuah dokumen sosial belaka, dengan mengesampingkan status sastra sebagai seni, seperti yang diyakini Ariel Heryanto. Begitu juga dengan pandangan absolutis-idiosinkratik Arief Budiman bahwa "pada dasarnya semua sastra adalah kontekstual", yang bermakna bahwa sastra hanyalah sekedar refleksi dari romantika kelas sosial, terbatas publik penikmatnya tergantung hanya kepada siapa sang pengarang mengalamatkan karangannya, terlalu superfisial untuk bisa diterima sebagai sebuah "sosiologi" sastra karena menyiratkan bahwa selera seni, atau selera keindahan (sense of beauty), berbanding lurus dengan isi kocek dan warna kulit seseorang. Kecuali hitam-putih, tak ada warna lain dalam estetika Arief Budiman, tak ada nuansa kebenaran lain dalam positivisme "sosiologi"nya. Pertanyaan terakhir yang ingin saya ajukan kepada beliau, dan Ariel Heryanto, sambil menutup esei ini adalah bagaimana Anda akan menjelaskan betapa Shakespeare begitu universal kepopulerannya, sejak abad 17 sampai sekarang dan di mana-mana, termasuk di Indonesia, mirip dengan universalnya kepopuleran "sosiologi", ilmu pengetahuan yang sangat kebarat-baratan itu?

0 komentar
kata saykoji mah NARSIS biar kaya artis HAHAHAHAHA :D
0 komentar
Add caption

MUKA GALAU
0 komentar

PHOTOSHOP


iseng-iseng ga ada kejaan selama libur dan cuti bersama, yang atas kaos sepak bola warna pink. aneh kan, yang bawah kaos pandawa untirta, dengan sentuhan sederhana brush.
0 komentar

HIDUP DENGAN TUJUAN

tau ga sih, kemaren gw denger ada orang yang mengatakan bahwa kehidupan itu ga penting, menurut aliran ini hidup itu hanya sebuah perulangan, dimisalkan dengan seorang yang mengangkat batu ke atas gunung lalu di jatuhkan kembali, dan terus berulang, seperti dalam kehidupan ini, contoh mahasiswa seperti gw, kalian bayangkan bangun tidur mandi, sarapan (kbanyakan ga sarapan), terus berangkat kuliah, ketemu dosen, baca buku, ngrjain tugas laporan, DLL, begitupun dengan proposi yang lain, itu akan berualang terus menerus dan ujung-ujungnya MATI, itu sih menurut pandangan orang-orang filsup Francis yang klewat pinter, ya memang ada benarnya, TAPI menurut pandangan gw sih hidup itu ada tujuan yang hakiki yaitu menjadi khalifah di muka bumi dan kembali ke akhirat nanti dengan kebahagiaan yang telah di persiapkan selama kita hidup di dunia ini.
(200512)
Jumat, 18 Mei 2012 0 komentar

kebahagiaan

menurut saya kebahagiaan itu adalah janji yang ditepati, ada kalanya kehidupan tidak bahagia dengan benda-benda yang kita punya, tetapi kita bisa bahagia saat ada seseorang atau  pun siapa saja menepati janjinya kepada kita, begitupun sebaliknya 180512
 
;